Senin, 05 November 2012



Konstruktivisme adalah perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami (Bruning et al.,2004).
Pengaruh besar yang mendorong kemunculan konstruktivisme adalah teori dan penelitan dalam ilmu perkembangan manusia, terutama teori-teori Piaget dan Vygotsky.
Teori Piaget termasuk teori konstruktivis yang mengetengahkan bahwa anak-anak berproses melewati serangkaian tahapan yang berbeda-beda secara kualitatif: sensorik-motor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Mekanisme perkembangan utama adalah ekuilibrasi yaitu hal yang dapat membantu menyelesaikan konflk-konflik kognitif dengan mengubah sifat dari realitas untuk menyeesaikan struktur-struktur yang ada (asimilasi) atau mengubah struktur untuk memasukan realita (akomodasi).
Teori sosiokultural Vygotsky menonjolkan lingkungan sosial sebagai sebuah fasilitator bagi perkembangan dan pembelajaran. Lingkungan sosial mempengaruhi kognisi melalui alat-alatnya , objek-objek kultural, bahasa, simbol-simbol, dan institusi-institusi sosial. Perubahan kognitif disebaban oleh penggunaan alat-alat ini dalam interaksi-interaksi sosial dan oleh internalisasi dan transformasi dari interaksi-interaksi tersebut. Konsep utamanya adalah zona perkembangan proksimal (ZPD). ZPD mewakili jumlah pembelajaran yang mungkin dijalani siswa dalam kondisi-kondisi pangajaran yang tepat. Aplikasi-aplikasi yang mencerminkan ide-ide Vygotsky adalah pemberian bantuan pengajaran, pengajaran timbal balik, kerjasama dengan teman sebaya, dan praktik magang.
Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu pembelajaran matematika membangun konsep-konsep, prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga prinsip atau konsep itu terbangun kembali dan transformasi dan informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.

0 komentar:

Posting Komentar