Konstruktivisme adalah
perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu
membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan
pahami (Bruning et al.,2004).
Pengaruh besar yang
mendorong kemunculan konstruktivisme adalah teori dan penelitan dalam ilmu perkembangan
manusia, terutama teori-teori Piaget dan Vygotsky.
Teori Piaget termasuk
teori konstruktivis yang mengetengahkan bahwa anak-anak berproses melewati
serangkaian tahapan yang berbeda-beda secara kualitatif: sensorik-motor,
pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Mekanisme
perkembangan utama adalah ekuilibrasi yaitu hal yang dapat membantu menyelesaikan
konflk-konflik kognitif dengan mengubah sifat dari realitas untuk menyeesaikan
struktur-struktur yang ada (asimilasi) atau mengubah struktur untuk memasukan
realita (akomodasi).
Teori sosiokultural Vygotsky
menonjolkan lingkungan sosial sebagai sebuah fasilitator bagi perkembangan dan
pembelajaran. Lingkungan sosial mempengaruhi kognisi melalui alat-alatnya ,
objek-objek kultural, bahasa, simbol-simbol, dan institusi-institusi sosial.
Perubahan kognitif disebaban oleh penggunaan alat-alat ini dalam
interaksi-interaksi sosial dan oleh internalisasi dan transformasi dari
interaksi-interaksi tersebut. Konsep utamanya adalah zona perkembangan
proksimal (ZPD). ZPD mewakili jumlah pembelajaran yang mungkin dijalani siswa
dalam kondisi-kondisi pangajaran yang tepat. Aplikasi-aplikasi yang
mencerminkan ide-ide Vygotsky adalah pemberian bantuan pengajaran, pengajaran
timbal balik, kerjasama dengan teman sebaya, dan praktik magang.
Pembelajaran matematika
menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu pembelajaran matematika
membangun konsep-konsep, prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri
melalui proses internalisasi sehingga prinsip atau konsep itu terbangun kembali
dan transformasi dan informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru.
Yang terpenting dalam
teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswa yang harus
aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide
dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar
tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.